THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Monday 13 August 2012

MANTERA

MANTERA

Istilah mantera berasal daripada kata mantramantr, atau matar, dalam Bahasa Sanskrit yang bermaksud nyanyian memuja tuhan atau pemujaan penyebutan kata-kata tertentu bagi memperolehi sesuatu yang dihajatkan yang mempunyai kesamaan dengan jampi serapah, tawar, sembuh, cuca, puja, dan takal. Keakraban masyarakat Melayu silam denganalam sekitar mendorong kepada timbulnya kepercayaan-kepercayaan bahawa alam sekitar mempunyai pengaruh dan kuasa yang menentukan sesuatu perkara dalam kehidupan mereka. Kepercayaan ini berkait rapat dengan pengaruh animisme yang diwarisi secara turun-temurun. Dari situ timbullah unsur-unsur kuasa magis seperti semangat dan roh yang dianggap sebagai memberi kesan kepada sesuatu perkara yang dihajati secara langsung kepada unsur-unsur magis tersebut. Pawang atau bomoh adalah ahli-ahli penting yang menguasai dan mengamalkan mantera. Mereka membaca mantera dengan nadairama, dan tekanan suara yang tertentu sesuai dengan tujuan perbomohan atau sesuatu perkara yang dihajati.
Mantera tergolong dalam kelompok puisi, kerana pengucapan dalam bentuk mantera menggunakan kata-kata yang tersusun dalam bentuk rangkap, mempunyai makna yang tersirat, bahasa yang padat puitis. Mantera boleh digolongkan sebagai sejenia puisi Melayu tradisional berbentuk bebas, kerana tidak terikat kepada jumlah baris yang sama dalam satu-satu rangkap, manakala rima askihrnya pula tidak tetap.

FUNGSi

Fungsi Mantra
Mantra sebagai salah satu bentuk folklor mempunyai empat fungsi, salah satunya adalah sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Dalam konteks ini, pranata dimaknai sebagai sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi beserta adat istiadat dan sistem norma yang mengaturnya., serta seluruh perlengkapannya. guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam kehidupan. 
Setiap tradisi memiliki pranata sosial sendiri sesuai konteks dinamika budaya yang bersangkutan. Menurut Herusatoto (1985), setiap tradisi atau adat istiadat mempunyai empat tingkatan, yakni: (1) tingkat nilai budaya, (2) tingkat norma-norma, (3) tingkat hukum, (4) tingkat aturan khusus. 
Tujuan pemanfaatan mantra merupakan bentuk kompensasi dari ketidakberdayaan orang memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan pranata formal. Oleh karena pranata formal tidak mampu menampung konflik-konflik dalam masyarakat, kompensasinya muncul pranata-pranata sosial tradisional yang mampu menyelesaikan konflik-konflik tersebut dengan karakternya masing-masing. (positif-negatif). Hal tersebut akhirnya membudaya dan bahkan diwariskan kepada generas penerus. Hal ini sesuai dengan pendekatan psikologitik yang dinyatakan oleh Sutardja (1996) bahwa secara naluriah suatu kelompok etnik telah memiliki mekanisme dalam menghadapi dan memecahkan problema-problema sosial budaya yang diwarisi dari nenek moyangnya. Implikasinya dari relevansi secara psikologis ini ialah bahwa manusia memerlukan pegangan batin untuk menghadapi masalah-masalah sosial budaya. Bila mekanisme pegangan batin semacam itu macet., semakin berat masalah yang akan dihadapinya. 
Dengan demikian, penilaian bijak terhadap potensi mantra tidak seharusnya dilakukan secara normatif hitam-putih, melainkan harus diposisikan dalam moralitas budaya yang kontekstual. 
Mantra Putih Bentuk Kidung
Kidung ialah nyanyian, lagu, atau syair yang dinyanyikan, disebut juga puisi (dalam tembang Jawa). Menurut Zoetmulder (1983:142), kidung adalah sejenis puisi jawa pertengahan yang mempergunakan metrum-metrum asli jawa. Misalnya Kidung rumeksa ing wengi, tembang Dandhanggula. Kidung mantra ini diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Karena kedekatannya dengan rakyat membuat Sunan Kalijaga sering dimintai pertolongan untuk mengobati orang sakit, dimintai doa-doa dan tolak bala. Kemudian Sunan Kalijaga memberi mereka doa (mantra) berupa Kidung Rumeksa Ing wengi.(Hariwijaya, 2007).
Inti laku pembacaan mantra ini adalah agar kita senantiasa mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian, kita dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman, dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 
Mengenai Fungsi kidung secara eksplisit tersurat dalam kalimat kidung itu, yang antara lain: penyembuhan segala macam penyakit, pembebas pageblug, mempercepat jodoh bagi perawan tua, penolak bala di malam hari, seperti teluh, santet, hama, dan pencuri, menang dalam perang, memperlancar cita-cita luhur dan mulia. 
Kidung ini terdiri atas sembilan bait yang disertai laku dan fungsi pragmatisnya secara spesifik. Bagian pertama terdiri dari lima bait yang wajib diamalkan setiap malam. Bagian kedua, terdiri dari empat bait berupa petunjuk menyertai laku dan wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang mengamalkannya. Berikut contoh kutupan sebagian mantra Kidung Rumeksa Ing Wengi; 


CONTOH MANTERA

Semut mneyerap dimulutku,
gerak gering harimau garang ,
cekam terkam anjing tunggal,
turun kau darah penakut,
naik aku darah berani,
menyerap-nyerap dihatiku,
seminga-minga dimukaku,
berkat aku memakai perindang Ali,
guru aku kabul aku pun kabul,
kabul baginda Rasulullah.



0 comments: